Tim Tombo Ati (T2A) adalah lembaga yang didirikan dalam Penanganan Mental Spiritual bagi para Pengungsi korban merapi.

Minggu, 28 November 2010

Tak Berpunya Tapi Miliki Segala


Kebun binatang ini sudah banyak berubah.

Dibanding dengan saat terakhir berkunjung sudah sangat berbeda. Sudah nggak bau pesing. Sudah nggak banyak sampah. Justru buanyak banget tempat sampah. Satu kata untuk Gembiraloka, indah!

Kalau nggak salah sudah 8 tahun aku nggak kesana. Lebih-lebih suasananya sekarang. Bukan sekedar piknik keluarga, tapi juga membersamai penyintas lereng Merapi berwisata.

Kami  (Tim Tombo Ati) mendapat jadwal untuk meng-handle acara sejak ISHOMA. Sementara paginya dipegang oleh teman-teman dari Mermounc. Mereka mengajak para penyintas untuk berkeliling menikmati Gembiraloka.

Oh ya, satu yang kurang dari Gembiraloka. Kamar mandinya. Cuma ada 3. Jauhnya?  Jangan ditanya. Jadi waktu mau wudhu untuk sholat dzuhur, dengan jumlah pengungsi sekitar 300-an, memang sedikit kewalahan.

Sementara belum banyak pengungsi yang datang, kami ambil wudhu duluan. Di kamar mandi dekat pintu masuk.

Ada yang menarik perhatianku. Seorang ibu. Datang dengan jilbab putih gadingnya, dalam balutan baju hijaunya, sejuk di pandang mata. Kami belum memberi aba-aba. Lihat pengungsinya saja baru beberapa. Tapi mendekati waktu sholat ibu ini sudah bersiap.

“Mbak, wudhune teng mriki nggih?”
“Nggih, leres, Bu…”
“Wonten sing kosong?”
“Wonten, Bu…”

Aku tak sempat bertanya lebih banyak. Karena kami harus segera menuju panggung utama.

“Mbak, le sholat teng pundi?” Ibu ini kembali mengagetkanku. Sekarang bersama dua orang. Seorang ibu dengan pakaian padanan coklat dan yang satu berjilbab biru.

“Teng mriki, sekedap nggih Bu, kajenge dipuntata rumiyin kaliyan rencang-rencang…”

Ibu ini tak banyak bicara. Beliau turun membantu kami menggelar tikar. Ternyata di depan panggung utama panasnya luar biasa. “Mbak, kok ndak di joglo saja?” kata ibu-ibu lainnya. Tapi ibu ini tetap diam di tempatnya. Akhirnya sholat kami pindah sedikit ke selatan. Di bawah pohon yang jelas lebih teduh.

Tiba waktu makan siang aku mengambil tempat di sebelah timur. Mataku mencari ibu itu. Tapi perhatianku teralihkan sementara saat seorang simbah datang bersama keluarganya dan duduk tepat di depan saya. Ada yang berkata (tapi saya tidak memperhatikan yang mana), “Mbak, niki Mbah Maridjan putri…”

“Ya Robb, aku tak harus mencari beliau. Beliau sudah ada di depanku.”

Kukeluarkan jurus ngayawara standar ala Jawa. Hehe, sangat ampuh untuk situasi-situasi macam ini ternyata. Banyak yang kudapat dari keluarga besar itu. Mungkin akan kuceritakan lain waktu. Sekarang aku kembali mencari ibu tadi. Setelah ketemu langsung kudekati.

“Nyuwun sewu, kula lenggah mriki nggih, Bu?”
“Mangga, Mbak…”
“Ibu sampun dhahar?”
“Sampun, Mbak…”
“Tindak mriki kaliyan sinten kemawon, Bu?”
“Kalih lare, Mbak…”
“Sakniki teng pundi?”
“Duka wau, mbok menawi dolan kalih kancane.”
“Menawi bapak?”
“Bapake sampun sareng kaliyan Mbah Maridjan kala wingi, Mbak…”
Masya Allah. “Nyuwun ngapunten nggih, Bu…”
“Mboten napa-napa, Mbak…”

Ibu ini lalu bercerita. Mulai dari erupsi Merapi pertama, termasuk kronologi kematian suaminya. Juga tentang dua putrinya. Sampai bagaimana sekarang hidupnya.

“Sakniki nggih pun mboten gadhah napa-napa, Mbak. Kantun gadhah lare-lare. Kantun gadhah Gusti Allah.”

Splash… Luar biasa! Ibu ini sadar beliau sudah tidak punya apa-apa. Hanya tinggal kedua putrinya. Tapi ada satu yang masih beliau punya. ALLAH! Allah yang ibu ini jadikan sandaran. Allah yang ibu ini jadikan kekuatan. Allah yang ibu ini jadikan tumpuan dan harapan.

“Nyuwun sewu Bu, asmanipun sinten nggih?”
“Bu Ngatinem”.

Selang kemudian aku bertemu putri bungsunya. Juga tidak sengaja. Dia dan dua orang temannya mengajakku bermain bersama. Cublak-cublak suweng, ah, permainanku dulu waktu TK…


Sesekali bocah mirip Dora ini menoleh ke belakang. Tersenyum ke ibu tadi. Baru kemudian kembali mengambil posisi.

“Larenipun, Bu?” tanyaku menyelidik.
“Nggih Mbak, niki sing alit…”
“Namine sinten, Dek?” aku ganti tanya pada putrinya.
“Dek Astri…”

Setelah itu aku tak banyak berinteraksi dengan mereka lagi. Aku harus membersamai simbah-simbah putri. Banyak pelajaran yang kutemui disini. Ah, jika bukan karena Merapi…

Sebelum pulang aku melihat mereka di parkiran. Lagi-lagi keluarga kecil ini menarik perhatianku. Astri mendekati sang ibu. Dia minta uang. Dan ibunya pun memberikan. Tapi ternyata bukan untuk jajan.

“Ya kana dicaoske dewe”, kata Bu Ngatinem pada putrinya.
Tahukah apa yang dilakukan Astri dengan uang di genggamannya? Dia hampiri seorang simbah di depan mushola. Di wadah putih pengemis itulah Astri menaruh uangnya. Allahu akbar!


Keluarga kecil ini sudah tak berpunya dari sisi harta. Tapi justru sikapnya yang membuat mereka kaya. Keyakinan mereka akan Yang Maha Segala. Kemauan mereka untuk tetap berbagi pada sesama. Hari ini aku kembali mendapat guru. Keluarga ini memang pantas digugu lan ditiru. Jujur, aku malu…


Semoga Allah kembali mengumpulkan keluarga mereka di surga…


Saat liburan Hari Guru,
di Kebun Raya selatan Jogja,

Ainun Nahaar


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More